Kamis, 07 Maret 2013

Review Jurnal


Pendahuluan

Krisis yang menimpa Indonesia pada tahun 1998 telah menimbulkan kesadaran bahwa dalam perekonomian nasional sektor usaha kecil memiliki peran yang sangat penting dalam memperkokoh struktur perekonomian nasional. Hal ini ditunjukkan dari jumlah pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) mencapai  99,8% dari total pelaku ekonomi kita, sementara sisanya, yaitu hanya 0,2% merupakan pelaku usaha besar. Sektor ini juga menyerap 88,3% total angkatan kerja Indonesia. Keseluruhan unit usaha kecil yang ada, 54% di antaranya bergerak disektor pertanian, 23% di sektor perdagangan dan 10,6% adalah unit usaha industri olahan. Fakta ini  menunjukkan pentingnya melakukan pemberdayaan usaha kecil di Indonesia (Karjantoro, 2002)
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) diatur dalam UU No 20/tahun 2008 menjelaskan bahwa usaha mikro adalah usaha produksi milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan, usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh oarang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Base Line Economic Survey (BLESS) yang dilakukan Bank Indonesia (2007) berhasil mengidentifikasi 10 komodititas unggulan daerah Tulungagung diantaranya beras, cengkeh, marmer, mamin khas, batik, konveksi dan bordir, kerajinan bambu, ikan hias dan TPI, tenun dan industri rumah tangga.
Adapun yang menjadi objek pembahasan ini adalah para pengusaha kecil konveksi di Tulungagung.

  
Pembahasan

Sektor usaha kecil memiliki peran yang sangat penting dalam memperkokoh struktur perekonomian nasional dalam usaha pemberdayaan usaha kecil di Indonesia.
Adapun faktor penghambat internal yang di hadapi usaha kecil di Tulungagung yaitu: pertama, sumber daya manusia (SDM); lemahnya SDM yang dimaksud bukan dari lemahnya jenis usaha kreatif masyarakat Tulungagung, namun lebih kepada bagaimana UMKM yang dikelola dapat bertahan, meningkatkan daya saing, dan dapat bersaing dalam pasar ekspor. Kendala santai, apa adanya, tidak mau bersinggungan dengan birokrasi (tidak mau ribet ngurusi NPWP), membuat pelaku usaha lebih lambat dalam merespon perubahan peta persaingan. Kedua, keterbatasan modal, karena UMKM seringkali mengeluhkan bahwa usaha mereka akan dapat berkembang jika modal yang dimiliki besar. Ketiga, manajemen tata kelola yang tradisional, nyaris tidak mengenal teknologi modern dalam berproduksi, sehingga beberapa UMKM di Tulungagung yang mampu mengakuisisi teknologi mampu meningkatkan daya saingnya. Beberapa UMKM yang tidak mampu mengakuisisi teknologi bekerja dengan durasi kerja lebih lama, produktivitasnya rendah, dan harga yang tidak kompetitif. Keempat, kendala pemasaran yakni, rendahnya akses pasar, lemahnya sistem informasi pemasaran membuat UMKM kesulitan dalam mengembangkan pemasaran produknya. Seringkali pelaku usaha mengetahui bahwa produknya diperlukan didaerah tertentu, namun mereka kesulitan untuk masuk ke daerah tersebut karena sudah ada produk pesaing. Kelima, penyediaan bahan baku, kesulitan atau hambatan yang sebenarnya terjadi bukan pada kesulitan mengakseskan bahan baku, namun bagaimana mendapatkan bahan baku yang murah/terjangkau dari sisi harga. Karena seringkali bahan baku produksi harus didatangkan dari luar Tulungagung, sehingga berat di ongkos produksi contohnya: meskipun campur darat/besole terkenal dengan marmer dan Onyx, namun sebagian besar batu Onyx masih didatangkan dari Bawean. Juga kulit untuk sabuk, dompetdan tas, masih mengambil dari Surabaya. Industri logam, sebagian masih tergantung kepada limbah industri dari Surabaya. Keenam, kebutuhan Sistem Informasi Manajemen (SIM); pelaku usaha merasa belum perlu menggunakan sistem informasi yang rapi atau modern berbasis teknologi, alasannya sederhana, dengan kondisi seperti yang ada saja sudah bisa jalan, buat apa beli alat kalau hasilnya sama saja.
Ditinjau dari pendekatan eksternal faktor penghambat dalam pengembangan UMKM di Tulungagung adalah: pertama, persaingan, banyak sektor unggulan UMKM di Tulungagung juga dijumpai di daerah lain. Misalnya batu Onyx, darri Bawean. Juga untuk produk makanan, misal jajanan memiliki kemiripan dengan daerah lain seperti Madiun, Trenggalek, Blitar dan Ponorogo. Apalagi produk logam, kerajinan bambu, kulit dan sebagainya. Kedua, ACFTA, peran kebijakan pemerintah yang memberikan kebebasan pajak bagi produk impor dari China membuat UMKM banyak terpukul. Sebelum ada kebijakan tersebut saja, UMKM lokal sudah merasa tersaingi, apalagi sekarang dengan kebijakan tersebut, produk China akan semakin membanjiri, karena murah. Beberapa sektor UMKM yang tersaingi secara langsung adalah industri konveksi, batik, dan logam. Meskipun dari sisi kualitas produk lokal masih mampu bersaing, bahkan lebih unggul. Namun kenyataannya, pembeli tidak begitu paham terhadap kualitas, tetapi lebih kepada harga yang murah. Ketiga, ancaman langsung produk China, mulai dari mainan, makanan, alat-alat rumah tangga menjadi hambatan sekaligus tantangan UMKM untuk meningkatkan daya saingnya dengan nilai kekhasan yang mampu memberikan deferensiasi produk di mata konsumen.
Faktor pertumbuhan dengan pendekatan internal yaitu pertama, dengan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha tentang pentingnya inovasi, inovasi menjadi strategi fundamental dalam meningkatkan keunggulan kompetitif usaha kecil, inovasi dalam menghasilkan ide kreatif dengan membuat desain sendiri (market created), kemasan, pemasaran. Inovasi model desain konveksi dapat didapatkan melalui ide-ide spontan yang muncul. Namun yang penting, usaha konveksi memang dituntut untuk menghasilkan desain/model baru yang memungkinkan diminati oleh konsumen. Inovasi dalam hal desain motif dari baju-baju yang dihasilkan. Berdasarkan hasil riset, pelaku usaha yang memiliki kesadaran tinggi untuk melakukan inovasi akan dapat bertahan dan meningkatkan daya saingnya. Kedua, memberikan aspek pembelajaran kepada karyawan agar ide kreatif yang menjadi basis inovasi tidak akan pernah habis. Saat ini pelaku usaha sering hanya mengandalkan aspek kreativitas untuk berinovasi dari dirinya sendiri, dengan tidak memperhatikan ide karyawan. Padahal tidak jarang karyawan mampu belajar terhadap perkembangan mode/desain sehingga dapat di akomodir menjadi idea generation yang menjadi kekuatan desain bagi usaha konveksi yang dikelola UMKM. Ketiga, usaha kecil berupaya melakukan penelitian/riset sendiri, meskipun dengan tingkatan yang sederhana. Dapat dilakukan dengan melakukan survey ke pasar-pasar besar yang ada di Surabaya ataupun Jakarta, memantau perkembangan mode dari televisi atau majalah. Setidaknya dengan riset kecil yang dilakukan, pelaku usaha sadar bahwa produknya akan mampu bersaing dengan inovasi. Keempat, usaha konveksi juga dituntut dengan senantiasa menganalisis kondisi permintaan dipasar, artinya orientasi terhadap kebutuhan konsumen menjadi alternatif usaha konveksi dapat meningkatkan daya saingnya. Akses pasar menjadi kunci keberhasilan usaha konveksi. Link/jaringan usaha sangat mahal harganya. Mereka akan berusaha menjaga kerahasiaan akses pasar tersebut, dan berupaya menjaga kepercayaan dengan mitra usaha mereka.
Dengan pendekatan eksternal faktor pertumbuhannya dapat dilakukan dengan: pertama, peran Universitas sebagai lembaga yang melakukan feasibility studies terhadap keberadaan UMKM di pemerintahan daerah. Universitas juga potensial dalam melakukan riset terhadap efektivitas bantuan yang diberikan oleh pemerintah. Optimalisasi universitas lokal dirasa dapat lebih memberi makna sinergisitas kerjasama antara universitas dengan UMKM. Pendampingan dan pelatihan terhadap persepi masyarakat tentang pendidikan serta pembinaan dalam hal manejemen persediaan keuangan yang akan berdampak pada pola manajerial usaha konveksi yang selama ini cenderung tradisional. Kedua, Pemda sebagai fasilitator yang menjembatani kepentingan perusahaan besar terhadap kebutuhan UMKM, karena bagaimana pun peran pemerintah sebagai pembuat regulasi dan kewajiban pemerintah memberikan kesempatan yang adil dan melindungi kepentingan UMKM menjadi penting untuk ada. Ketiga, peran Dinkop UKM yang lain adalah melakukan pembinaan kepada pelaku usaha, lebih kepada manajemen usaha kecil maupun sistem informasi, sedangkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan lebih kepada aspek teknis. Bantuan yang dilakukan Dinkop dalam manajemen UMKM adalah bantuan penyusunan laporan keuangan dan pengarahan perijinan. Keempat, peran perbankan dalam memberikan pelatihan manajerial dan keuangan. Pola peran perbankan dapat bersinergi dengan universitas lokal dan Pemda dalam mengajak pelaku usaha konveksi untuk membenahi manajerialnya, diberikan pelatihan tentang manajemen usaha, dan menjadi lebih berani untuk mengambil resiko mengambil kredit bank dengan pola pembayaran yang fleksibel. Kesulitan akses permodalan lebih disebabkan lemahnya jaminan dan kebangkrutan karena pengelolaan yang amburadul.





Daftar Pustaka
Wahyu, Eddy.,2010, Model Transfer Inovasi Usaha Kecil Konveksi di Tulungagung, Artikel Jurnal Pembangunan Masyarakat dan Desa, Vol. 11, No. 1, 27-40. Yogyakarta: STPMD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar