Pendahuluan
Krisis yang menimpa
Indonesia pada tahun 1998 telah menimbulkan kesadaran bahwa dalam perekonomian
nasional sektor usaha kecil memiliki peran yang sangat penting dalam memperkokoh
struktur perekonomian nasional. Hal ini ditunjukkan dari jumlah pelaku usaha
kecil dan menengah (UKM) mencapai 99,8%
dari total pelaku ekonomi kita, sementara sisanya, yaitu hanya 0,2% merupakan
pelaku usaha besar. Sektor ini juga menyerap 88,3% total angkatan kerja
Indonesia. Keseluruhan unit usaha kecil yang ada, 54% di antaranya bergerak
disektor pertanian, 23% di sektor perdagangan dan 10,6% adalah unit usaha
industri olahan. Fakta ini menunjukkan
pentingnya melakukan pemberdayaan usaha kecil di Indonesia (Karjantoro, 2002)
Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM) diatur dalam UU No 20/tahun 2008 menjelaskan bahwa usaha mikro
adalah usaha produksi milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan
yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Sedangkan, usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
yang dilakukan oleh oarang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau
usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri
sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau
usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Base Line Economic
Survey (BLESS) yang dilakukan Bank Indonesia (2007) berhasil mengidentifikasi
10 komodititas unggulan daerah Tulungagung diantaranya beras, cengkeh, marmer,
mamin khas, batik, konveksi dan bordir, kerajinan bambu, ikan hias dan TPI,
tenun dan industri rumah tangga.
Adapun yang menjadi objek
pembahasan ini adalah para pengusaha kecil konveksi di Tulungagung.
Pembahasan
Sektor usaha kecil
memiliki peran yang sangat penting dalam memperkokoh struktur perekonomian
nasional dalam usaha pemberdayaan usaha kecil di Indonesia.
Adapun faktor
penghambat internal yang di hadapi usaha kecil di Tulungagung yaitu: pertama, sumber daya manusia (SDM);
lemahnya SDM yang dimaksud bukan dari lemahnya jenis usaha kreatif masyarakat
Tulungagung, namun lebih kepada bagaimana UMKM yang dikelola dapat bertahan,
meningkatkan daya saing, dan dapat bersaing dalam pasar ekspor. Kendala santai,
apa adanya, tidak mau bersinggungan dengan birokrasi (tidak mau ribet ngurusi
NPWP), membuat pelaku usaha lebih lambat dalam merespon perubahan peta
persaingan. Kedua, keterbatasan
modal, karena UMKM seringkali mengeluhkan bahwa usaha mereka akan dapat
berkembang jika modal yang dimiliki besar. Ketiga,
manajemen tata kelola yang tradisional, nyaris tidak mengenal teknologi modern
dalam berproduksi, sehingga beberapa UMKM di Tulungagung yang mampu
mengakuisisi teknologi mampu meningkatkan daya saingnya. Beberapa UMKM yang
tidak mampu mengakuisisi teknologi bekerja dengan durasi kerja lebih lama,
produktivitasnya rendah, dan harga yang tidak kompetitif. Keempat, kendala pemasaran yakni, rendahnya akses pasar, lemahnya
sistem informasi pemasaran membuat UMKM kesulitan dalam mengembangkan pemasaran
produknya. Seringkali pelaku usaha mengetahui bahwa produknya diperlukan
didaerah tertentu, namun mereka kesulitan untuk masuk ke daerah tersebut karena
sudah ada produk pesaing. Kelima,
penyediaan bahan baku, kesulitan atau hambatan yang sebenarnya terjadi bukan
pada kesulitan mengakseskan bahan baku, namun bagaimana mendapatkan bahan baku
yang murah/terjangkau dari sisi harga. Karena seringkali bahan baku produksi
harus didatangkan dari luar Tulungagung, sehingga berat di ongkos produksi
contohnya: meskipun campur darat/besole terkenal dengan marmer dan Onyx, namun sebagian besar batu Onyx masih didatangkan dari Bawean. Juga
kulit untuk sabuk, dompetdan tas, masih mengambil dari Surabaya. Industri
logam, sebagian masih tergantung kepada limbah industri dari Surabaya. Keenam, kebutuhan Sistem Informasi Manajemen
(SIM); pelaku usaha merasa belum perlu menggunakan sistem informasi yang rapi
atau modern berbasis teknologi, alasannya sederhana, dengan kondisi seperti
yang ada saja sudah bisa jalan, buat apa beli alat kalau hasilnya sama saja.
Ditinjau dari
pendekatan eksternal faktor penghambat dalam pengembangan UMKM di Tulungagung
adalah: pertama, persaingan, banyak
sektor unggulan UMKM di Tulungagung juga dijumpai di daerah lain. Misalnya batu
Onyx, darri Bawean. Juga untuk produk
makanan, misal jajanan memiliki kemiripan dengan daerah lain seperti Madiun,
Trenggalek, Blitar dan Ponorogo. Apalagi produk logam, kerajinan bambu, kulit
dan sebagainya. Kedua, ACFTA, peran
kebijakan pemerintah yang memberikan kebebasan pajak bagi produk impor dari China
membuat UMKM banyak terpukul. Sebelum ada kebijakan tersebut saja, UMKM lokal
sudah merasa tersaingi, apalagi sekarang dengan kebijakan tersebut, produk China
akan semakin membanjiri, karena murah. Beberapa sektor UMKM yang tersaingi
secara langsung adalah industri konveksi, batik, dan logam. Meskipun dari sisi
kualitas produk lokal masih mampu bersaing, bahkan lebih unggul. Namun
kenyataannya, pembeli tidak begitu paham terhadap kualitas, tetapi lebih kepada
harga yang murah. Ketiga, ancaman
langsung produk China, mulai dari mainan, makanan, alat-alat rumah tangga
menjadi hambatan sekaligus tantangan UMKM untuk meningkatkan daya saingnya
dengan nilai kekhasan yang mampu memberikan deferensiasi produk di mata
konsumen.
Faktor pertumbuhan
dengan pendekatan internal yaitu pertama,
dengan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha tentang pentingnya inovasi, inovasi
menjadi strategi fundamental dalam meningkatkan keunggulan kompetitif usaha
kecil, inovasi dalam menghasilkan ide kreatif dengan membuat desain sendiri
(market created), kemasan, pemasaran. Inovasi model desain konveksi dapat
didapatkan melalui ide-ide spontan yang muncul. Namun yang penting, usaha
konveksi memang dituntut untuk menghasilkan desain/model baru yang memungkinkan
diminati oleh konsumen. Inovasi dalam hal desain motif dari baju-baju yang
dihasilkan. Berdasarkan hasil riset, pelaku usaha yang memiliki kesadaran
tinggi untuk melakukan inovasi akan dapat bertahan dan meningkatkan daya
saingnya. Kedua, memberikan aspek pembelajaran
kepada karyawan agar ide kreatif yang menjadi basis inovasi tidak akan pernah
habis. Saat ini pelaku usaha sering hanya mengandalkan aspek kreativitas untuk
berinovasi dari dirinya sendiri, dengan tidak memperhatikan ide karyawan.
Padahal tidak jarang karyawan mampu belajar terhadap perkembangan mode/desain
sehingga dapat di akomodir menjadi idea
generation yang menjadi kekuatan desain bagi usaha konveksi yang dikelola
UMKM. Ketiga, usaha kecil berupaya
melakukan penelitian/riset sendiri, meskipun dengan tingkatan yang sederhana.
Dapat dilakukan dengan melakukan survey ke pasar-pasar besar yang ada di
Surabaya ataupun Jakarta, memantau perkembangan mode dari televisi atau
majalah. Setidaknya dengan riset kecil yang dilakukan, pelaku usaha sadar bahwa
produknya akan mampu bersaing dengan inovasi. Keempat, usaha konveksi juga dituntut dengan senantiasa
menganalisis kondisi permintaan dipasar, artinya orientasi terhadap kebutuhan
konsumen menjadi alternatif usaha konveksi dapat meningkatkan daya saingnya.
Akses pasar menjadi kunci keberhasilan usaha konveksi. Link/jaringan usaha
sangat mahal harganya. Mereka akan berusaha menjaga kerahasiaan akses pasar
tersebut, dan berupaya menjaga kepercayaan dengan mitra usaha mereka.
Dengan pendekatan
eksternal faktor pertumbuhannya dapat dilakukan dengan: pertama, peran Universitas sebagai lembaga yang melakukan
feasibility studies terhadap keberadaan UMKM di pemerintahan daerah.
Universitas juga potensial dalam melakukan riset terhadap efektivitas bantuan
yang diberikan oleh pemerintah. Optimalisasi universitas lokal dirasa dapat
lebih memberi makna sinergisitas kerjasama antara universitas dengan UMKM.
Pendampingan dan pelatihan terhadap persepi masyarakat tentang pendidikan serta
pembinaan dalam hal manejemen persediaan keuangan yang akan berdampak pada pola
manajerial usaha konveksi yang selama ini cenderung tradisional. Kedua, Pemda sebagai fasilitator yang
menjembatani kepentingan perusahaan besar terhadap kebutuhan UMKM, karena
bagaimana pun peran pemerintah sebagai pembuat regulasi dan kewajiban
pemerintah memberikan kesempatan yang adil dan melindungi kepentingan UMKM
menjadi penting untuk ada. Ketiga, peran
Dinkop UKM yang lain adalah melakukan pembinaan kepada pelaku usaha, lebih
kepada manajemen usaha kecil maupun sistem informasi, sedangkan Dinas
Perindustrian dan Perdagangan lebih kepada aspek teknis. Bantuan yang dilakukan
Dinkop dalam manajemen UMKM adalah bantuan penyusunan laporan keuangan dan
pengarahan perijinan. Keempat, peran
perbankan dalam memberikan pelatihan manajerial dan keuangan. Pola peran
perbankan dapat bersinergi dengan universitas lokal dan Pemda dalam mengajak
pelaku usaha konveksi untuk membenahi manajerialnya, diberikan pelatihan
tentang manajemen usaha, dan menjadi lebih berani untuk mengambil resiko
mengambil kredit bank dengan pola pembayaran yang fleksibel. Kesulitan akses
permodalan lebih disebabkan lemahnya jaminan dan kebangkrutan karena
pengelolaan yang amburadul.
Daftar
Pustaka
Wahyu, Eddy.,2010, Model Transfer Inovasi Usaha Kecil Konveksi
di Tulungagung, Artikel Jurnal Pembangunan Masyarakat dan Desa, Vol. 11,
No. 1, 27-40. Yogyakarta: STPMD
Titanium Dabs - TITanium-arts.com
BalasHapusTitanium titanium fishing pliers Dabs - titanium 3d printer TITanium-arts.com. $12.00. In Stock. Add to Cart. ford edge titanium Add to Cart. Buy in head titanium ti s6 bulk. titanium men\'s wedding band Share. Related Categories. Titanium Dabs.